. G-F58WFYGPSM Komodo Jatuh Cinta eps 64 weekend nita.

Komodo Jatuh Cinta eps 64 weekend nita.

Table of Contents


backsound :Kenangan manis - Pamungkas

 Malam itu, setelah adegan absurd gue ngelawan Hardi di ring tinju dan menang karena insiden kulit pisang… gue dan Yanita jalan berdua. Gak pake tujuan. Cuma jalan. Di trotoar sepi, berdua doang. Kayak dulu. Bedanya, sekarang gak ada tangan kecil yang bawa es lilin—yang ada, dua kepala dewasa yang kebanyakan mikir.

“Kita udah dewasa ya,” kata Yanita, pelan.

“Udah,” gue jawab sambil nendang batu kecil di jalan.

Kami duduk di kursi taman, di bawah lampu jalan yang kekuningan. Sepi. Angin malam dingin, tapi gak sedingin jarak yang pernah terbentuk di antara kami.

“Gue... udah jarang banget ngobrol kayak gini sama Hardi,” Yanita mulai cerita. “Dulu dia perhatian. Sekarang, bahkan ngecek chat aja kayak ngerjain PR.”

Gue noleh. “Lo sayang sama dia?”

Dia lama diem. Terus bilang, “Gue... gak yakin. Rasanya makin kabur. Gue gak tau dia masih liat gue sebagai cewe yang dulu, atau cuma... kewajiban.”

Gue angguk pelan. “Gue malah lagi ngerasain sebaliknya.”

“Mutiah?”

“Iya. Kita makin nyambung. Awalnya gue pikir dia cuma ‘pengalih perhatian’, tapi... dia punya cara hangat buat bikin gue pulang terus, mutiah muslimah itu cocok banget jadi istri gue.”

Yanita senyum kecil. Tapi gue bisa liat matanya berat.

" Gue baca surat cinta lo, lo kayak nya ga seyakin itu ke dia.. Hidup lo cuma buat.. Gue kan? "

Gue diem.. Ga bisa jawab

Beberapa saat kemudian, dia nanya sambil ngeliat langit:

“Lo masih kepikiran soal militer?”

Gue langsung diam. Pertanyaan itu... kayak bom waktu yang tiap hari berdetak di kepala gue.

“Aku gak tau harus lanjut atau berhenti,” gue jujur. “Kadang gue mikir, ini cita-cita atau cuma beban. Gue lelah, Nit.”

Yanita ngeliat gue, mata kita saling nyambung tanpa kata. Dan seolah alam paham... hujan turun. Deras.

Kita buru-buru lari dan berteduh di pos ronda kosong pinggir jalan. Gue liat dia menggigil, bajunya udah basah kuyup.

Tanpa mikir panjang, gue lepas kemeja panjang yang gue pakai dan kasih ke dia. “Pakai ini. Biar gak masuk angin.”

Dia nerima, pelan-pelan makai sambil senyum.

“Lo kedinginan bego,” katanya, masih gemeteran tapi tetap senyum. “Kenapa gak lo aja yang pakai?”

Gue senyum miris. “Lebih baik kamu yg pakai ini, kamu tau ga, kalo kamu itu orang paling penting dalam hidup aku.”

Beberapa detik hening. Cuma suara hujan dan napas kita yang berat.

Tiba-tiba, dia pelan-pelan nyender ke bahu gue... dan meluk gue.

Gue kaget. Jantung gue berdentum lebih keras dari suara drum konser dangdut kampung.

Dan dia sadar.

“Lo gemeteran ya... Astaga, lo tuh kenapa... deg-degan? Hahaha”

Gue cengengesan, tapi gak bisa jawab. Dan pelukan itu... terus berlangsung. Hangat. Lama.

Gue dan dia sesekali saling pandang. Senyum. Gak banyak ngomong. Tapi semuanya terasa... jelas.

Lalu, dengan suara yang nyaris kayak bisikan...

“De...” katanya sambil nutup mata.

Dan... kita ciuman.

Ciuman yang gak direncanain. Tapi juga gak ditolak.

Bibir gue dan bibir yanita saling bertemu, nafas kami ga beraturan, kadang kegigit pelan, lidah saling berdansa bahkan dingin nya suasana ga berasa setelah hangat nya bibir kami ketemu. 

Entah berapa lama. Yang pasti, pas gue sadar... hujannya udah berhenti.

DEPAN KOSAN YANITA

Gue antar dia sampai depan kosannya. Jalan sepi, lampu redup, dan hawa malam masih dingin.

Yanita noleh ke gue. Pandangannya beda. Lebih jujur, lebih dalam.

“Aku tau kamu ke Mutiah belum sepenuhnya, kamu ke mutiah karna hati kamu ga dapetin aku kan..,” katanya. “Aku bisa rasain... cinta kamu masih sama. Masih buat aku.”

Gue diem sebentar. Hati gue kayak jalan dua arah yang lampu merahnya rusak.

Gue tarik napas, lalu jawab pelan:

“Iya...aku masih cinta sama kamu nita dan akan tetap begitu seumur hidup ku.. Tapi aku mencoba untuk ke mutiah”

Dia senyum. Gak menang, tapi juga gak kalah.

Dan gue... balik badan. Jalan pulang.

Dengan hati yang makin rumit.

Baru beberapa langkah 

"Tunggu... " 

Gue tiba-tiba berhenti. 





To be continued.... 


Posting Komentar