Gaji DPR Naik 100 Juta
HARI Senin
Bangun tidur gue liat berita: "Gaji DPR naik 100 juta!"
Gue refleks ngaca di kaca. Wajah gue masih sama: ganteng setengah, miskin full.
Sambil gosok gigi, gue mikir: "Oh, pantesan listrik, beras, dan rokok naik. Ternyata bukan inflasi, tapi infaq rakyat buat DPR."
Hari Selasa
Pajak BBM naik. Kata pemerintah: “Demi pembangunan.”
Gue liat jalan depan rumah, masih bolong.
Mungkin lubang jalan itu sengaja, biar rakyat belajar offroad tanpa perlu beli Jeep. Pendidikan gratis, bro.
Hari Rabu
Gue dapet surat cinta dari kantor pajak:
"Segera bayar pajak, karena negara butuh kamu."
Gue bacanya sambil nangis.
Mungkin kalau surat itu ditulis DPR, isinya:
"Segera setor uang, karena istri muda kami butuh tas branded."
Hari Kamis
Di televisi, DPR rapat. Suasana mewah, kursi empuk, AC dingin.
Salah satu anggota nyeletuk:
"Rakyat harus lebih sabar menghadapi cobaan ekonomi."
Gue tepuk tangan sendiri di kamar. Hebat!
Orang yang gajinya ratusan juta bisa ngajarin orang yang gajinya sejuta buat sabar.
Mungkin kalau DPR buka kursus motivasi, judulnya:
“Cara Hidup Hemat: Tips dari Orang Kaya Pura-Pura Susah.”
Hari Jumat
Dompet gue kering. Buat makan aja harus ngutang ke warung.
Tapi hati gue lega, karena katanya uang rakyat adalah uang negara, dan uang negara adalah uang DPR.
Minimal, gue merasa ikut nyumbang buat kesehatan mereka—walau gue sendiri kalau sakit cuma dikasih obat warung: Antangin rasa keputusasaan.
Hari Sabtu
Mimpi aneh.
Gue jadi DPR.
Setiap rapat gue cuma bilang: “Setujuuuuuuu!”
Terus gaji gue langsung masuk rekening, 100 juta tiap bulan.
Pas gue bangun, dompet gue tetap kosong. Yang penuh cuma utang.
Hari Minggu
Gue tutup diary ini dengan doa:
Semoga DPR bahagia dengan gaji barunya,
dan semoga rakyat bahagia dengan utang barunya.
Karena di negeri absurd ini, senyum adalah satu-satunya hal gratis yang belum kena pajak.
Posting Komentar