Komodo jatuh cinta eps 92
[KAMAR VIP – MALAM]
Monitor jantung gue masih bunyi beep… beep… beep. AC dingin, tapi kamar makin panas kayak sauna gara-gara aura Nikita vs Mutiah. Boy & Yanita pura-pura main catur, padahal papan udah ancur—raja ilang, kuda nongkrong di mangkuk buah.
Mutiah duduk di kursi, mata merah, tangannya nyentuh tangan gue.
Mutiah (lirih, nahan nangis):
“kanda… apa kamu beneran lupa sama aku? Sama semua yang pernah kita lewatin?”
(gue, panik, nyengir kaku):
“Eh… iya… dulu kita kan… pernah…”
Nikita (langsung duduk tegak, nada tinggi):
“Pernah APA?! Jawab sekarang, pangeran!”
Boy nyaris keselek apel.
Boy (batuk-batuk):
“Gue… sumpah… ini apel salah momen banget.”
Yanita udah tutup mulut pake tangan, tapi matanya berbinar kepo maksimal.
Mutiah (tegas, matanya berkaca-kaca):
“Kami pernah..., Nik. Aku sama kanda Ade… dulu pernah ada momen yang nggak akan aku lupain.”
Kamar jadi krik-krik. Jam dinding bunyi tik tok makin dramatis.
Yanita (bisik kecil):
“Waduh… mellow tapi nusuk. Ini drama mahal.”
Mutiah makin neken tangan gue.
Mutiah:
“Aku nggak mau rebut dia darimu. Aku cuma nggak mau pura-pura lupa. Aku pernah jadi bagian hidupnya… aku pernah jadi alasan dia janji nggak akan ninggalin aku.”
(gue, panik):
“Mut, jangan bahas janji itu di sini—”
Mutiah (potong, suaranya serak tapi tajam):
“Kenapa? Karena ada dia? Atau karena kamu takut ngakuin kalau hati kamu masih inget aku?”
Nikita langsung berdiri, wajah merah, air mata jatuh.
Nikita (teriak):
“Cukup! Kamu pikir aku nggak ngerti maksudmu?! Kamu dateng bukan buat jenguk, tapi mau ngerebut dia kan?!”
Boy bisik ke Yanita:
Boy:
“Fix… ini udah level drama Thailand. Tinggal ada soundtrack mellow bahasa asing, selesai.”
Yanita cuma geleng-geleng, tapi senyum kepo.
(gue, buru-buru):
“Nik, Mutiah… please, jangan kayak gini. Gue nggak sanggup liat kalian ribut karena gue. Kalau bisa… gue lebih baik sakit seumur hidup daripada nyakitin salah satu dari kalian.”
Mereka berdua terdiam. Mutiah tarik napas panjang, lalu pelan-pelan ngeluarin sesuatu dari tas kecilnya. Sebuah kalung kecil dengan liontin kusam.
Mutiah (lirih):
“Kalau kamu beneran lupa, Kanda… liat ini. Kamu yang kasih aku dulu. Waktu kamu bilang… aku bakal selalu jadi pangeran kecilmu.”
Nikita kaget, langsung noleh ke gue.
Nikita (goyang-goyangin bahu gue):
“ADE! JELASIN! Kenapa ada kalung beginian?! Dan kenapa dia manggil kamu pangeran kecil?!”
Gue keringetan, kepala cenat-cenut.
Gue:
“Itu… itu dulu, Nik. Gue masih… labil. Gue pikir nggak bakal ketemu lo lagi, jadi…”
Nikita (mata berkaca-kaca, ngambek):
“Jadi kamu janji juga ke dia? Sama kayak janji kamu ke aku?!”
Mutiah berdiri, air mata netes, tapi dia senyum pahit.
Mutiah:
“Aku nggak butuh penjelasan. Aku cuma pengen kamu inget… aku pernah ada.”
Dia pelan-pelan jalan ke pintu. Sebelum keluar, dia noleh sekali lagi.
Mutiah:
“Jaga dia baik-baik, Nik. Jangan ulangin kesalahan yang pernah dia lakuin ke aku…”
Pintu nutup dug pelan. Suasana hening.
Nikita langsung rebahan lagi di samping gue, peluk tangan gue kenceng banget.
Nikita (lirih, matanya basah):
“Aku benci kamu, Ade… tapi aku juga nggak bisa lepas dari kamu. Apapun yang terjadi, kamu tetap milik aku.”
Gue masih bingung antara mellow, panik, sama terharu.
Gue (pelan, nekat gombal absurd):
“Nik… kalau hati gue ibarat bandara… lo tuh terminal utama. Mutiah paling-paling terminal kargo.”
Nikita sempet kaget, lalu ketawa sambil mewek.
Nikita:
“Gila… gombalan absurd tapi bikin aku luluh lagi.”
Boy tiba-tiba teriak dari pojokan:
Boy (angkat apel ke atas):
“Eh, tapi gue masih penasaran. Itu anuan versi lo tuh yang mana, De? Anuan spiritual? Anuan romantis? Atau… anuan Indosiar?”
Yanita langsung jitak Boy pake bidak catur.
Yanita (sebel tapi ketawa):
“Dasar badut!”
Kamar kembali hangat dengan tawa tipis-tipis. Walau drama mellow barusan masih nyisa, ada rasa lega.
To be continued...
“Every heart keeps its past. But the present… is where love decides to stay.”
Posting Komentar